Sandry Anugerah Hasanudin

Kotamobagu, kota kecil yang memiliki luas wilayah 184,33 KM3 dan didiami sekitar 131.001 Jiwa. Hampir sama dengan jumlah tentara merah Uni Soviet kala bertempur melawan tentara Nazi Jerman beserta sekutunya yang membombardir kota industri Stalingrad (sekarang Volgograd) dari seberang Sungai Volga.

Pertempuran yang kemudian menghentak militer Jerman karena gigihnya perjuangan infanteri Rusia yang dimotori oleh para penembak jitu seperti Vasily Grigoryevich Zaytsev dan Nikolay Kulikov. Perang ini akhirnya menjadi titik balik penting dalam sejarah perang dunia ke-2, karena pertama kalinya tentara Jerman berhasil dipukul mundur dalam pertempuran terbuka.

Mari kita tinggalkan  Rusia dan kembali ke Kotamobagu yang bukan kota industri layaknya Stalingrad, tidak pula memiliki sungai besar yang menjadi jalur utama transportasi air seperti Sungai Volga, namun memiliki semangat perlawanan yang begitu besar. Melawan ketertinggalan, kemiskinan serta kebodohan.

Kotamobagu, hari ini, berkembang secara mantap dalam sebuah tatanan masyarakat sipil yang terbuka (open society) denganan mengedepankan nilai-nilai toleransi. Ciri khas masyarakat Mongondow yang santun dan membuka diri bagi ragam bentuk pembaharuan maupun perbaikan, menempatkan wilayah bekas Ibu Kota Kabupaten Bolaang Mongondow ini sebagai kota ke-7 paling toleran di Indonesia. Sebagaimana hasil laporan Indeks Kota Toleran (IKT) yang dirilis Unit Kerja Presiden Pembinaan Idoelogi Pancasila (UKP-PIP). Toleransi tak hanya terbina secara horizontal antar sesama masyarakat, namun juga secara vertikal, antara pemerintah dan masyarakatnya. Jika kita giat mengikuti perkembangan  informasi di media cetak dan elektronik, maka tentu tidak asing lagi mendengar konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat dengan mengatas namakan intoleransi sebagai isu utama dibeberapa daerah yang ada di Indonesia maupun mancanegara.  Sementara di Kotamobagu, pemerintah dan masyarakat hidup berdampingan dengan semangat egaliter yang dijunjung  tinggi, dengan tetap memberikan pelayanan maksimal tanpa memandang suku, agama dan golongan. Olehnya, menyebut Kotamobagu sebagai daerah yang baku-baku sayang, baku-baku bae bukanlah isapan permen jempol belaka.

Kotamobagu adalah sebuah kota berbasis multikulturalisme yang dihimpit dua pusaran sosiopolitik dan ekonomi besar: Kota Manado dan Gorontalo. Sebuah kondisi geografis yang  sebenarnya menjadikan Kotamobagu rentan dengan turbulensi sosial. Namun perlahan tapi pasti, daerah ini mulai menunjukkan bahwa eksistensinya tidak mudah tersapu gelombang globalisasi. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan, maka multikulturalisme memberikan penegasan bahwa  dengan segala perbedannya itu, masyarakat memiliki posisi yang sama di dalam ruang publik. Konfigurasi masyarakat yang heterogen, namun mampu menemukan pola yang dinamis dalam setiap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, menegaskan bahwa Kotamobagu adalah daerah yang berkarakter.

Kotamobagu terlalu lama berjalan. Waktunya mulai berlari

Sejak 2013, Kotamobagu mulai berbenah dari hulu hingga hilir. Reformasi ditubuh birokrasi pemerintahan kota hingga aparatur desa dilakukan secara komprehensif dan terkontrol. Dengan mengusung program smart city, Kotamobagu mulai menerapkan sistem kerja online yang terintegrasi di semua lini dan lintas sektoral, sehingga mempermudah segala urusan pemerintahan dalam melayani masyarakat. Selayaknya daerah yang baru dimekarkan, Kotamobagu menapaki tangga pembangunan selangkah demi selangkah.

Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Tatong Bara saat baru dilantik bisa dibilang cukup berat. Kemiskinan di Kotamobagu menyentuh angka 5,98 persen. Belum lagi persoalan lain seperti iklim investasi yang rendah, ketersediaan rumah sakit umum milik daerah yang lengkap dan memadai, mega proyek Masjid Raya Baitul Makmur (MRBM) yang mangkrak, penataan paras kota, serta fasilitas umum yang ramah anak. Semua itu menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan secara gradual oleh Tatong Bara, sejak pertama kali naik ke tampuk kekuasaan di tahun 2013.

Kala itu tidak sedikit yang pesimis dengan kemampuan Tatong Bara dalam memimpin pemerintahan, hingga perlahan perubahan di Kotamobagu mulai terasa di tengah-tengah masyarakat dalam kurun 5 tahun, dan mendelegitimasi segala bentuk keraguan beberapa kelompok masyarakat di Kotamobagu. Angka kemiskinan  Kotamobagu mengalami penurunan hingga 0,39 persen jika kita membandingkan antara kurun 2013 hingga 2017. Meski sebenarnya pada tahun 2016 angka kemiskinan di Kota Kotamobagu sempat naik pada posisi 6,01 persen, dikarenakan meningkatnya garis kemiskinan yang sebelumnya Rp 255.330 per kapita perbulan, menjadi Rp 274.103. kenaikan angka garis kemiskinan ini disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat urban yang berubah mengikuti laju arus pembangunan yang terjadi di kota. Hadirnya produk-produk bahan pokok bukan makanan jenis baru, yang kemudian menjadi kebutuhan  “tambahan” dan tidak dibarengi dengan jumlah pendapatan serta daya beli riil masyarakat. Disamping itu ada faktor dominan lain yang mempengaruhi naiknya angka kemiskinan di Kotamobagu, yaitu: kenaikan harga kebutuhan dasar dan kehadiran masyarakat luar Kotamobagu yang datang dan menetap. Hal ini kemudian segera diseriusi oleh pemerintah Kota Kotamobagu dengan penanganan yang terfokus tanpa menegasikan kepentingan setiap komponen yang terlibat dalam siklus perekonomian Kotamobagu. Hasilnya, angka kemiskinan turun ke angka 5,59 persen pada tahun 2017 atau mengalami penurunan sebesar 0,42 persen. Pencapaian yang kemudian mendudukan Kotamobagu pada peringkat dua daerah dengan jumlah masyarakat miskin terkecil di Sulawesi Utara.

Iklim investasi dan pertumbuhan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) juga meningkat dengan masuknya investor nasional yang bonafit, sehingga berdampak pada kemajuan ekonomi masyarakat Kotamobagu, dengan pertumbuhan ekonomi yang melesat hingga 6,63 persen di tahun 2017.

Satu persatu  problem mayor di kotamobagu mulai teratasi. Masjid Raya Baitul Makmur (MRBM) yang menjadi landmark Kotamobagu, kini berdiri megah dan telah memasuki tahap finishing. Kepedulian terhadap kehidupan beragama tidaklah cukup jika hanya memperhatikan bangunan fisik tempat peribadatan saja, dan tidak menyentuh aspek manusia yang mengelolanya. Sehingga, tepat ketika seluruh petugas keagamaan dari enam agama yang diakui konstitusi mendapatkan insentif dari Pemerintah Kota Kotamobagu sebagai bentuk penghargaan tertinggi terhadap kontribusi mereka dalam melayani masyarakat.

Kotamobagu dibawah pemerintahan Tatong Bara juga dicatat dengan tinta emas oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dan Kementrian Lingkungan Hidup, dengan meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) empat kali berturut-turut dan Piala Adipura dua kali berturut-turut.

Jika kita berbicara pelayanan kesehatan di Kotamobagu pada tahun-tahun yang lalu, maka yang kita dapati adalah panorama kota kecil dengan rumah sakit yang sempit dan kumuh. Namun kini pelayanan kesehatan yang prima bisa dinikmati segenap masyarakat Kotamobagu, dengan dibangunnya dua tower rumah sakit yang menasbihkan RSUD KK sebagai rumah sakit rujukan  tipe B, yang memiliki perlengkapan medis mumpuni, ditunjang tenaga-tenaga profesional dari tingkat perawat hingga dokter spesialis. Pelayan kesehatan juga dimaksimalkan hingga ke level desa kelurahan dengan ditingkatkannya kualitas Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), dibuktikan dengan diakreditasinya dua puskesmas rawat inap, yaitu Puskesmas Gogagoman dan Puskesmas Motoboi Kecil pada tahun 2014.

Pada akhirnya, pemuda-pemudi generasi milenialyang mengisi sebagian besar usia produktif di Kotamobagu tidak perlu khawatir lagi jika kelak mengalami sakit secara fisik. Mereka tinggal fokus kepada sakitnya ditinggal kekasih, karena tiada obat mujarab yang mampu mengobati patah hati selain bersujud dihadapan Tuhan Yang Maha Esa, sembari mengunyah lembaran-lembaran kenangan yang semakin hari semakin getir, dan tentu sesekali mengikuti trauma healing yang secara alamiah tersedia di kedai-kedai dan rumah kopi kekinian yang kian menjamur di Kotamobagu.

Tahun 2017 lalu, Pemerintah Kota Kotamobagu membumikan program anak asuh. Sebuah gebrakan pengentasan buta huruf dan upaya meningkatkan kualitas serta kuantitas anak usia sekolah di Kotamobagu. Pemerintah memberikan bantuan langsung kepada 3.750 pelajar dan mahasiswa kurang mampu, mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi. Dengan total anggaran mencapai 5,4 milyar rupiah, pemerintah Kota berharap generasi muda bisa mengenyam pendidikan layak dengan terus bersekolah. Generasi-generasi ini kelak akan menjadi harapan kita untuk mewujudkan cita-cita bangsa dalam artian yang sebenarnya. Disamping itu, karena pendidikan adalah modal utama dalam memajukan sebuah peradaban, maka pendidikan harus dijunjung sebaik-baiknya, setinggi-tingginya.

Kotamobagu boleh dikatakan kota yang unik karena satu-satunya kota yang masih memiliki desa. Namun keunikan itu yang kemudian menjadikan Kota Kotamobagu semakin leluasa dalam mengeksplor potensi yang dimiliki. Memaksimalkan potensi SDA dan  memoles potensi SDM. Pembangunan tidak hanya terfokus pada sarana dan prasana publik yang ada di kota, tetapi pembangunan diberbagai sektor juga menggeliat di desa-desa. Pemerintah desa dan pemerintah kota bekerja sama memperbaiki taraf hidup masyarakat desa. Kolaborasi Dana Desa dan Alokasi Dana Desa yang bersumber dari APBD menjadikan desa kuat dan mandiri dengan sistem pembangunan Bottom Up, sehingga masyarakat desa bisa menikmati pembangunan sesuai dengan kebutuhan. Sistem pembangunan yang presisi dan akurat.

Kini, daerah yang kita kasihi bersama ini terus bergerak maju menyelesaikan seluruh persoalan-persoalan mendasar baik dari sisi infrastruktur, pelayanan publik maupun pemenuhan kebutuhan dasar dan pemberdayaan masyarakat.

Dan dipenghujung periode pertama Tatong Bara menjabat sebagai Wali Kota Kotamobagu, pekerjaan rumah yang telah ia kerjakan hampir rampung. Ia masih memiliki kesempatan lima tahun lagi untuk memparipurnakan tugasnya dalam membangun Kota Kotamobagu. Namun kesemua itu tergantung kepada masyarakat Kota Kotamobagu kemana mereka menancapkan paku harapan di bilik TPS tanggal 27 Juni 2018 nanti.

Mari kita tunggu sembari mendengarkan We shall overcome karya Pete Seeger.

 

Penulis: Sandry Anugerah Hasanudin

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini