Goenawan Mohamad

 

“Jadi engkau sekarang sudah orang Eropah! Christiaan, sungguh manis bunyinya…” — Corrie dalam “Salah Asuhan.”

Hanafi, pemuda Solok, Sumatra Barat, berhasil dipersamakan statusnya setaraf orang Eropa; ia memakai nama “Christiaan” — dan proses itu dianggap seakan-akan hasil evolusi manusia.

Membaca kembali “Salah Asuhan” Abdoel Moeis adalah mengikuti kembali sebuah cerita pedih.

Prosa pengarang masa tahun 1920-an ini sekarang akan terasa kaku, alurnya alot, dan themanya tak terasa segar; tapi ia merekam sebuah suasana yang menyesakkan. Kesedihan saya membacanya lagi bukanlah karena dua tokoh utamanya, Hanafi dan Corrie, gagal dalam perkawinan dan akhirnya mati, tapi karena novel dari tahun 1928 ini mengingatkan kembali: pada suatu masa dalam sejarah Indonesia, pernah ada kolonialisme — kekuasaan yang bukan cuma mengisap, tapi juga menampik manusia.

Kita ingat kerangka ceritanya: Hanafi jatuh cinta pada Corrie du Busse, gadis Indo dengan ayah Prancis. Ia ingin menikahinya — sejajar dengan keinginannya lepas dari ke-“pribumi”-annya. Ia sadar: ia lulusan HBS, sekolah menengah atas yang hampir eksklusif buat anak-anak Eropa dan inlander kelas atas. Ia mirip seorang pemuda Minang lain, Samsulbahri dalam novel “Sitti Nurbaya”: Belajar di sekolah Belanda, dengan penampilan seperti bukan orang Minang (“Jika dipandang dari jauh, tentulah akan disangka anak muda itu seorang anak Belanda…”), pemuda itu tak canggung berdansa dan minum anggur dan kelak ia jadi bagian tentara kolonial.

Hanafi sedikit lain: ia jadi pegawai administrasi sebuah perusahaan di Batavia, menceraikan isterinya, Rapiah, gadis Solok juga, dan melalui proses “gelijkstelling” berhasil dianggap setaraf dengan orang Belanda. Ia memakai nama “Han Christiaan”.

Corrie menyambutnya dengan gembira. Tapi sejak semula gadis ini waswas. Ia sendiri, sebagai seorang Indo, meskipun sudah disamakan sebagai orang Eropa totok, tahu betapa tertekannya terjepit dalam masyarakat yang dikonstruksikan rezim Hindia Belanda itu. Sistem ”gelijkstelling” membuka kemungkinan perpindahan status “bumiputra” ke status “Eropa”, tapi sebenarnya juga pengukuhan politik identitas masa itu.

Apa boleh buat. Kolonialisme Hindia Belanda: sebuah politik identitas yang dilembagakan secara brutal, yang menampik manusia sebagai manusia, sebagai proses.

Saya sering mengritik ketika identitas dianggap “jati diri” — rumusan tentang diri yang “sejati”. Seakan-akan kita bisa mengetahui hakikat yang 100% pas dan tak berubah dalam diri kita. Seakan-akan orang bukan makhluk sejarah, seakan-akan tak ada waktu — atau seakan-akan waktu hanya masa lalu, dan seakan-akan masa lalu bukan sesuatu yang ada karena dibaca masa kini.

Kolonialisme berbasis pada desain itu. Politik identitas: pembekuan manusia. Orang dibekukan agar mudah didaftar dan dikuasai.

Pelbagai cara dikerahkan. Antropologi dipakai kekuasaan politik buat menentukan bagian-bagian Nusantara yang entah kenapa disebut “suku” — yang kemudian diberi label. Kemudian label itu membangun “identitas”.

Dalam buku “Kolonialisme dan Etnisitas”, Daniel Perret menunjukkan bahwa pengertian “Batak” “tidak muncul dengan sendirinya”. Ia muncul karena pembedaannya dari identitas “Melayu” dan lain-lain. Ia muncul dari “différance”— proses pembedaan yang kesimpulannya akhirnya mau tak mau tertunda — tapi kemudian, demi kepraktisan — wacana yang dominan menghentikan proses pembedaan yang seharusnya berlanjut itu. Seluruh penduduk pedalaman Sumatra Timur Laut yang bukan Melayu, bukan Islam, dan bukan lain-lainnya, pun dimasukkan dalam kotak, atau kategori, “Batak”. Malangnya, berangsur-angsur, orang-orang dalam identitas baru itu sendiri yang “menggunakan sebutan yang datang dari luar itu untuk menciptakan mitos”.

Hal yang mirip sebenarnya terjadi di tempat lain. Pemerintah kolonial membagi wilayah dalam daerah (“provinsi”), seakan-akan perbatasannya tumbuh secara alamiah — padahal ia hanya usaha membuat administrasi lebih praktis. Salah satu sukses agenda kolonialisme ialah ketika identitas “anak daerah” dipakai — seakan-akan seseorang membawa DNA tertentu dan sikap hidup tertentu, gara-gara wilayah tertentu…

Sekali lagi: pembekuan manusia.

Ketika Hanafi mencoba jadi orang Eropa tak berarti ia menafikan pembekuan itu. Ia justru mengukuhkannya. Proses perubahan dalam “gelijkstelling” bukannya penyetaraan; identitas baru itu, “Eropa”, diraih sebagai penegasan rendahnya darajat identitas lama, “bumiputra”.

Semua itu jadi wacana dan kuasa, karena bawah-sadar politik kolonial menyimpan kengerian: orang tak ingin bersentuhan dengan Yang-Lain.

Saya kutip dari “Race and the Education of Desire” Ann Laura Stoler: di tahun 1898, ada buku petunjuk dokter yang memperingatkan agar ibu-ibu Eropa di “Hindia” tak membiarkan anak-anak tidur sekamar dengan babu. Di tahun 1941 masih ada nasihat yang sama: hubungan dengan pembantu pribumi bisa membawa “bahaya fisik dan spiritual” kepada anak.

Di dunia yang dibelah identitas itulah Hanafi dan Corrie tersekat. Corrie meninggal, Hanafi gagal. Pemuda ini, si Malin Kundang, kembali ke Solok. Ketika ia juga mati, ia nyaris tak dimakamkan di kampung, karena ia sudah “masuk Belanda”. Politik identitas merundungnya sampai kubur.

Catatan: Goenawan Mohamad

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini