Peristiwa Malari 1974 yang ditunggangi aparat merugikan gerakan mahasiswa.

Penulis: Petrik Matanasi

tirto.id – Ketika Perdana Menteri Jepang Tanaka berkunjung ke Indonesia pada 1974, peristiwa Malari (Malapetaka limabelas Januari) pecah di Jakarta. Sebelum kerusuhan terjadi, demonstrasi anti investasi asing memang sedang ramai. Pada tanggal nahas tersebut, para mahasiswa berjalan kaki dari kampus UI di Salemba menuju Universitas Trisakti di Jalan Kiai Tapa.

Sementara para mahasiswa “long march”, kerusuhan terjadi di beberapa titik lain, salah satunya di kawasan Senen. Kepala Gabungan Intel Pertahanan Keamanan (Hankam) Letnan Jenderal Charis Suhud dalam Catatan Seorang Prajurit (2004:238-239), meyebutkan bahwa para mahasiswa pernah diingatkan untuk tidak bergerak keluar kampus. ”Waktu mahasiswa keluar kampus, segera banyak orang yang semula hanya nongkrong di pinggir jalan ikut bergabung dengan arakan mahasiswa. Barisan utama mahasiswa bergerak menuju Monas, tapi ada juga sebagian rakyat yang menuju pasar Senen, tentu dengan tujuan perampokan/penggedoran, disertai pembakaran,” ungkap Charis Suhud.

Dalam kerusuhan itu, banyak sepeda motor buatan Jepang yang dibakar. Pasar Senen seperti disebut Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru (2014:145), ”Paling rusak karena masyarakat miskin di sekitarnya merusak dan membakar gedung-gedung dan mobil-mobil sambil menjarah toko. Sejumlah tempat mandi uap (steambeath) juga dibakar habis.”

Hariman Siregar selaku pemimpin gerakan mahasiswa tidak bisa berbuat banyak atas kerusuhan itu–yang tak hanya menggagalkan aksi mahasiswa tapi juga mencoreng citra mahasiswa. Sebagian masyarakat mencap mahasiswa sebagai biang kerusuhan. Meski demikian, Ali Sadikin selaku Gubernur DKI Jakarta tak menyalahkan mahasiswa. “Waktu Malari meletus sampai ketika Pasar Senen dibakar, Jakarta memang genting sekali, sehingga kita tidak tahu siapa yang membakarnya. Tetapi saya yakin bukan mahasiswa. Ada kekuatan-kekuatan lain,” kata Ali Sadikin dalam Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab (1995:281).

Ia bahkan mendatangi mahasiswa soal bahaya yang mengancam gerakan mereka. Jenderal Soemitro selaku Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), dalam Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (1996:12-13) menuturkan bahwa Malari terkait dengan sebuah lembaga studi dan juga Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin Mayor Jenderal Ali Murtopo. ”Saya dapat informasi bahwa ada seorang eksponen lembaga studi tadi membagi-bagikan uang di Senen, yang bertujuan, menurut Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin: menggerakkan massa Senen ke UI untuk menghancurkan gerakan mahasiswa di sana, mengubur DMUI (Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia),” ungkapnya.

Lembaga studi yang dikenal punya kaitan dengan Ali Moertopo adalah Centre for Strategic and International Studies (CSIS), yang di dalamnya terdapat Jusuf Wanandi dan Sofjan Wanandi. Ketika itu, menurut Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru (2014:145) CSIS, dirinya, dan adiknya jadi sasaran hingga harus mengungsi ke rumah Menteri Penerangan Mashuri Saleh. Menurut Soemitro, rumah Ali Moertopo dan Sudjono Hoemardani juga jadi sasaran amuk massa, tapi berhasil dicegah olehnya.

Ketika melewati markas CSIS, para demonstran mengungkapkan kebenciannya kepada Ali Moertopo. Saat itu, jabatan Ali Moertopo sebagai Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen (BAKIN) yang dikenal sebagai Aspri daripada Soeharto. Ia dikatai sebagai “antek Jepang.”

Sepengakuan Jusuf Wanandi, Ali Moertopo geram dengan tuduhan itu dan sempat mengeluarkan pistolnya untuk kemudian menemui mahasiswa. “Apa kamu takut?” kata Ali kepada Jusuf.   Jusuf menjawab, “Bukan seperti itu, Pak. Saya pernah dalam posisi meraka dan mereka sangat kuat. Kita bisa digilas mereka.”

Kala itu, menurut Jusuf Wanandi ”ancaman mahasiswa itu nyata.” Tentara yang ada di Jakarta tak bisa menghadapi sendirian. Kodam Jaya yang saat itu dipimpin Mayor jenderal Gustaf Hendrik Mantik sampai meminta bantuan kepada Kodam Siliwangi dan Kodam Diponegoro. Opsus, yang oleh Ali Moertopo enggan dimasukkan ke dalam BAKIN, disebut Soemitro telah menggerakkan massa Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI) yang di antaranya dalam perencanaan pembakaran di Pasar Senen.

Soemitro menambahkan, massa GUPPI, tukang-tukang becak, dan preman-preman Kramat atas suruhan Opsus bergerak ke arah Senen. “Terbakarlah Senen, huru-hara meledak di sana,” ujarnya.

Setelah Malari, perubahan terjadi di sekitar lingkar kekuasaan Presiden daripada Soeharto. Peristiwa itu merupakan “perang jenderal” antara Soemitro dengan Ali Moertopo. Opsus dan Aspri kemudian dihapuskan. Ali Moertopo hanya jadi Wakil Kepala BAKIN dari 1974 hingga 1978. Setelah itu menjadi Menteri Penerangan dari 1978 hingga 1984. Sementara karier militer Soemitro langsung hancur dan ia memilih jadi pengusaha.

Pengrusakan dan pembakaran yang luas dalam Peristiwa Malari 1974 membuat gerakan mahasiwa semakin tidak poluler di mata masyarakat. Apalagi Orde Baru selalu menekankan tentang pentingnya ketertiban dan ketenteraman.

Tak heran jika selama duapuluh tahun lebih setelah Malari, gerakan mahasiswa terus-menerus dipatahkan hingga akhirnya Soeharto tumbang pada 1998. (tirto.id – pet/irf)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini