Oleh: Rika Anggraeni
Bisnis.com, JAKARTA – DPR RI dan pemerintah akhirnya menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Cipta Kerja.
Lewat siaran di media sosial Youtube, masyarakat Indonesia menyaksikan secara langsung bagaimana undang-undang Omnibus Law tersebut disetujui oleh sebagian besar fraksi di kompleks DPR RI, Senayan, pada Senin sore (5/10/2020).
Sebanyak tujuh fraksi telah menyetujui agar Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi UU, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerindra, Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sedangkan dua fraksi lainnya Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak RUU tersebut. Bahkan, anggota fraksi Demokrat Benny K. Harman walk out atau keluar dari ruang sidang paripurna.
Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR, Supratman Andi Agtas mengatakan rapat penyiapan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja telah dilakukan sebanyak 64 kali.
“Dua kali rapat kerja, 56 kali rapat panja dan 6 kali rapat Tim Perumus/Tim Sinkronisasi yang dilakukan hari Senin sampai dengan Minggu, dimulai dari pagi hingga malam dini hari bahkan masa reses sebelumnya tetap melaksanakan rapat, baik di dalam maupun di luar gedung atas persetujuan pimpinan DPR,” ujarnya dalam Sidang Paripurna DPR RI Tahun Sidang 2020-2021, Senin (5/10/2020).
Dia mengaku Klaster Ketenagakerjaan menjadi agenda pembahasan paling sulit untuk diselesaikan sebelum RUU Cipta Kerja siap untuk diundangkan.
Apa itu Omnibus Law?
Omnibus Law atau dikenal dengan Omnibus Bill merupakan suatu Undang-Undang (UU) yang dibuat untuk mencabut, menambah, dan mengubah beberapa UU sekaligus menjadi lebih sederhana.
Sejatinya, Omnibus Law berkaitan dalam bidang ekonomi. Namun, justru Omnibus Law menjadi ancaman bagi masyarakat, salah satunya sistem ketenagakerjaan yang tidak adil bagi para pekerja.
Konsep kata ‘omnibus’ berasal dari Bahasa Latin, yang artinya ‘untuk semua’. Artinya, omnibus bersifat lintas sektor atau UU sapu jagat.
Mengutip dari demajusticia.org, konsep Omnibus Law bermuara pada negara yang menganut sistem hukum Common Law System, seperti Amerika Serikat. Sementara Indonesia menganut Civil Law System yang lebih mengutamakan kodifikasi hukum agar ketentuan hukum dapat efektif sebagaimana yang diharapkan.
RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang diusulkan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2019 lalu. Ada tiga hal yang disasar pemerintahan Joko Widodo melalui Omnibus Law, yakni UU Perpajakan, Cipta Kerja, dan Pemberdayaan UMKM. Sejauh ini, terdapat 74 UU yang akan terdampak Omnibus Law.
Omnibus Law bukanlah rencana pertama kalinya di Indonesia. Sekitar 25 tahun lalu, Presiden Soeharto pernah menerbitkan PP No 20/1994 namun hal ini dinilai bertentangan dengan berbagai UU karena telah mengubah materi muatan.
Apa itu UU Cipta Kerja?
UU Cipta Kerja merupakan upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil, dan menengah peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
UU Cipta Kerja merupakan bagian dari Omnibus Law. RUU tersebut menimbulkan kontroversi sejak awal pembahasan lantaran dianggap merugikan para pekerja atau buruh dan hanya mementingkan pemberi kerja atau investor
Dikutip dari draf, UU Cipta Kerja bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata.
Banyaknya UU yang tumpang tindih di Indonesia membuat pemerintah mencoba menyelesaikannya dengan Omnibus Law, salah satunya ketenagakerjaan. Setelah disahkan oleh DPR, UU Cipta Kerja akan merevisi isi sejumlah pasal di UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Banyak pasal yang dipersoalkan oleh serikat buruh akan adanya RUU ini yang dinilai mengancam hak asasi manusia (HAM). Salah satunya pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dikurangi menjadi 25 kali upah dari sebelumnya 32 kali upah.
RUU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa perjanjian waktu kerja tertentu akan otomatis berubah menjadi perjanjian waktu kerja tidak tertentu apabila tidak dibuat dalam perjanjian tertulis.
Beberapa ketentuan yang terdapat dalam RUU Cipta Kerja juga dianggap kontroversial di antaranya, waktu jam kerja, upah minimum, rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA), pekerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT), mekanisme PHK, hingga jaminan sosial.
Terkait hasil pembahasan, UU Cipta Kerja merupakan beleid yang disusun dengan menggunakan metode Omnibus Law. UU Cipta Kerja terdiri dari 15 bab dan 174 pasal, yang berdampak terhadap 1.203 pasal dari 79 undang-undang terkait, dan terbagi dalam 7.197 daftar inventarisasi masalah.