Konvensi Hak Anak
Asisten II Sitti Rafiqah Bora saat memberikan materi pada pelatihan konvensi hak anak, Kamis (28/10/2021).

ZONATOTABUAN.CO – Pemerintah Kota (Pemkot) Kotamobagu melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) menggelar kegiatan pelatihan konvensi hak anak (KHA), di Restauran Lembah Bening Kotamobagu, Kamis (28/10/2021).

Pelatihan yang di buka langsung Asisten II Setda Kotamobagu Sitti Rafiqah Bora, dihadiri kurang lebih 47 perwakilan baik Organisasi Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Kota Kotamobagu, Forum Anak Daerah Kotamobagu, LSM, para guru, pekerja sosial, media, dan dunia usaha. Serta hadir juga Kepala Dinas P3A Kotamobagu Virginia Olii dan Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Kotamobagu Susilawati Gilalom.

Adapun penyampaian Asisten II Sitti Rafiqah Bora selaku narasumber, bahwa pada dasarnya konvensi hak anak adalah kesadaran tentang arti penting pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.

Sehingga diperlukan upaya perlindungan anak yang holistik agar anak dapat terlindungi baik secara fisik dan mental

“Untuk menangani hal ini, diperlukan upaya perlindungan anak yang holistik agar anak dapat terlindungi baik secara fisik dan mental, salah satunya dengan memperkuat koordinasi lintas sektor,” ujarnya.

Sitti Rafiqah Bora mengajak, seluruh elemen ikut bersinergi dalam memberikan hak anak untuk perlindungan anak di Kota Kotamobagu.

“Kerja bersama penting untuk perlindungan anak,” tuturnya.

Sitti Rafiqah Bora juga menyampaikan, bila dilihat berdasarkan lima klaster yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak yaitu hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya; dan pelindungan khusus.

Dimana indikator pada klaster hak sipil dan kebebasan antara lain adalah hak identitas dan partisipasi anak.

Hak partisipasi diterjemahkan ke dalam Forum Anak yang memiliki fungsi sebagai pelopor dan pelapor serta dilibatkan dalam perencanaan pembangunan di berbagai tingkatan.

Hak anak yang termasuk ke dalam klaster lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, misalnya pencegahan perkawinan anak dan pengasuhan yang tidak layak.

Beberapa hak anak yang termasuk ke dalam klaster kesehatan dasar dan kesejahteraan antara lain pencegahan stunting atau anak tumbuh kerdil, pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, dan pencegahan perokok anak, serta pencegahan anak terlibat narkotika.

Sedangkan hak anak yang termasuk ke dalam klaster pelindungan khusus adalah pencegahan kekerasan terhadap anak dan pekerja anak. Sehingga penting menjadi catatan terkait pencegahan bersama untuk mempekerjakan anak dibawah umur.

“Konvensi hak-hak anak (KHA) menjadi menarik untuk disimak, serta mengimplementasikan KHA dalam upaya meningkatkan kesejahteraan anak. Ketika hak anak telah terpenuhi kelak pada beberapa generasi mendatang akan tumbuh pribadi mandiri dan percaya diri,” pungkasnya.

Konvensi Hak Anak

Diketahui kesadaran pemenuhan hak anak membuat negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk kemudian merumuskan sebuah kesepakatan internasional, sebuah aturan universal, yang dapat menjadi pedoman dalam pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.

Setelah melalui berbagai pertemuan, Majelis Umum PBB kemudian mengesahkan Konvensi Hak Anak pada 20 November 1989. Hari pengesahan Konvensi Hak Anak itu kemudian dikenal sebagai Hari Anak Sedunia.

Tidak perlu waktu lama bagi bangsa Indonesia untuk menyepakati Konvensi Hak Anak. Hingga kemudian pada 26 Januari 1990, Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut menandatangani Konvensi Hak Anak. Tidak cukup sampai di situ, Pemerintah kemudian mengesahkan Konvensi Hak Anak sebagai aturan hukum positif meratifikasinya pada 5 September 1990 melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.

Hal paling mendasar yang dilakukan Indonesia dalam upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak sesuai Konvensi Hak Anak adalah dengan memasukkan isu perlindungan anak ke dalam konstitusi.

Amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 memasukkan Pasal 28B Ayat (2) yang berbunyi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Selain itu, Indonesia juga telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan dua pilar utama, yaitu pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak. Undang-Undang tersebut telah dua kali diubah melalui Undang-Undang 35 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.

Semangat pemenuhan hak anak dan perlindungan anak juga mendasari berbagai peraturan perundang-undangan yang lain, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang mengamanatkan setiap daerah untuk melakukan upaya-upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.

Pemenuhan hak anak dan perlindungan anak juga mendasari upaya mengubah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan usia minimal perkawinan bagi laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun.

Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi dua protokol opsional Konvensi Hak Anak melalui undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak; dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. (Murianto)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini