jpnn.com – Awalnya para honorer K2 menolak kebijakan rekrutmen PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja) tapi nyatanya banyak yang daftar. Bahkan sejumlah pengurus forum honorer juga ikut.
REKRUTMEN PPPK tahap satu ini menarik perhatian sebagian besar honorer K2. Lihat saja data yang dipublikasikan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Untuk tes tahap satu ini diikuti 73.111 orang. Terdiri dari 56.273 guru, 2.994 dosen, 2.149 tenaga kesehatan, dan 11.695 penyuluh pertanian.
Ini fakta kalau honorer K2 sangat antusias mengikuti seleksi PPPK. Yelyel yang digaungkan dalam beberapa kali aksi unjuk rasa, yakni honorer no, PPPK no, dan PNS yes, seperti dilupakan.
Walaupun Anggota Tim 9 Perkumpulan Hononer K2 Indonesia (PHK2I) Eko Mardiano menyatakan, yang ikut tes itu hanya sekitar 15 persen dari total 438.590 tapi ini fakta yang tidak bisa dibantahkan. Bahwa, honorer K2 ingin ada perubahan nasib.
Mereka sudah bosan dengan gaji Rp 300 ribu per bulan. Mereka berpikir realistis bahwa untuk mendapatkan status PNS masih butuh perjuangan panjang.
Di satu sisi, honorer K2 lain menghujat kawan-kawannya yang ikut tes PPPK. Mereka menyebut tekannya yang ikut tes PPPK sebagai pengkhianat. Antara kata dan perbuatan tidak sejalan.
“Sedih rasanya honorer K2 kini terpecah belah. Pemerintah memang hebat, bisa memecah kesolidan honorer K2 sejak 2018. Saat itu pemerintah hanya memberikan peluang bagi honorer K2 yang usianya di bawah 35 tahun ikut tes CPNS. Hal ini diulang lagi pada rekrutmen PPPK tahun ini,” beber Eko yang juga korwil PHK2I Jawa Timur.
Hujatan demi hujatan yang ditujukan kepada honorer K2 peserta tes PPPK termasuk Ketum PHK2I Titi Purwaningsih tidak bersambut. Mereka yang ikut tes hanya diam seribu bahasa.
Anggota Tim 9 PHK2I Nur Baitih meminta agar tidak menyalahkan honorer K2 yang ikut tes PPPK. Jangan menuduh honorer K2 yang ikut PPPK itu pengkhianat, pendusta, dan lainnya.
Dia mengklaim perjuangan akan tetap berjalan. PPPK hanya bagian dari proses menjadi PNS.
“Saya enggak sepaham dan enggak setuju jika bilang teman-teman yang ikut PPPK itu pengkhianat, pendusta, dan lainnya. Toh sampai saat ini ibu ketum dan saya masih bergerak agar bisa jadi PNS,” ucapnya.
Setiap pergerakan, menurut dia, tidak mesti diumbar. Saat ini sedang dibuat resume kebijakan PPPK. Mengingat dari hasil tes PPPK ternyata banyak masalah di lapangan. Ini yang harus dirangkum dan dilaporkan baik ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), presiden, dan DPR RI.
“Alhamdulillah semua sudah teragendakan untuk bisa menyampaikan langsung. Begitu juga dengan Kantor Staf Presiden (KSP). Mengeluh saja tidak bisa menyelesaikan masalah tanpa ada gebrakan nyata,” tuturnya.
Dia menegaskan, adalah fakta kebijakan pemerintah mengenai PPPK sudah final. Lihatlah honorer K2 yang sudah menjadi PNS hasil tes CPNS 2018. Itu juga melalui proses perjuangan yang melelahkan.
Lihat kasus guru bantu DKI Jakarta. Mereka juga sama. Dulu namanya guru bantu dengan SK SPK ( Surat Perintah Kerja) resmi dari kementerian.
Kalau dilihat, mustahil mereka diangkat PNS. Namun, mereka masih melakukan pendekatan dengan presiden. Perjuangan mereka tidak sia sia. Mereka sudah menjadi PNS.
Kebetulan di zaman Jokowi, doa mereka menjadi PNS terkabul. Entah karena politik atau apa, intinya selama masih ada kemauan berjuang tidak ada yang sia sia
Bagi guru honorer K2 di DKI Jakarta ini, perjuangan itu diibaratkan sebuah perjalanan ingin menuju PNS. Di perjalanan saat merasa lelah dan letih, berhenti sesaat untuk istirahat.
“Ketika dihadapkan dalam sebuah pilihan dan memaksa untuk berhenti di rest area (PPPK) dengan kondisi yang tidak bisa dilawan karena kebijakan. Maka dengan berat hati kita berhenti sejenak di rest area itu,” kata Nur.
Namun bukan berarti berhenti di situ selamanya. Perjalanan terus dilanjutkan sampai tujuan akhir (PNS). Tidak ada aturan yang mengikat dan melarang seseorang yang sudah berhenti di rest area, untuk lanjutkan perjalanannya lagi.
“Tujuan itu belum tercapai. Jangan mempermasalahkan pemberhentian sesaat (PPPK) yang sudah dilakukan. Banyak hal yang perlu diambil hikmahnya dari pemberhentian sesaat itu. Banyak pelajaran yang bisa diambil dan jangan melihat satu sisi saja,” ucapnya.
“Bagaimana tahu produk itu baik atau buruk kalau belum ada yang mengalami langsung. Toh ini bukan akhir dari segalanya. Fokus pada solusi bukan ke masalah. Jangan anggap mereka (yang ikut PPPK) pendusta karena itu sebuah pilihan. Dan kami tidak bisa menghentikan pilihan karena pastinya mereka sudah memperhitungkan baik dan buruknya,” sambungnya. (esy/jpnn)