Perwira senior kritis yang tak pernah berhenti melawan pemerintahan Soeharto.
Oleh: Randy Wirayudha (historia.id)
SEBAGAI loyalis Sukarno, Letjen TNI (Purn.) Ahmad Yunus Mokoginta mengalami nasib sama dengan jenderal-jenderal pendukung Sukarno lainnya saat peralihan Orde Lama ke Orde Baru. Petarung semasa Revolusi Fisik itu mesti menanggalkan seragamnya untuk menjalani “pembuangan” sebagai duta besar.
Lahir di Kotamobagu, Sulawesi Utara pada 28 April 1921, Mokoginta merupakan putra dari Abraham Patra Mokoginta, mantan jogogu (perdana menteri) Kerajaan Bolaang Mongondow. Sejak kecil, dia dan keluarganya “hijrah” ke Jawa hingga bisa mengecap bangku sekolah Belanda.
Mokoginta lalu memilih karier militer dan meretasnya di Koninklijke Militaire Academie (KMA) Bandung. Seperti para koleganya di KMA Bandung, ketika revolusi Mokoginta meleburkan diri ke Divisi Siliwangi. Dari 1948-1950, Mokoginta mengantikan Gatot Subroto sebagai komandan Polisi Militer Daerah Jawa.
Pasca-penyerahan kedaulatan, 27 Desember 1949, Letkol Mokoginta selaku panglima Teritorium VII/Indonesia Timur menerima penyerahan kekuasaan dari Belanda yang diwakili komandan KNIL (Tentara Hindia Belanda) Kolonel Schootborg. “Letnan Kolonel Achmad Junus Mokoginta menerima penyerahan kekuasaan di Makassar dengan hanya beberapa anggota staf dan sepasukan Polisi Militer. Kemudian anggota-anggota KNIL yang bersedia, digabungkan ke dalam APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat),” ujar Soeharto dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.
Semasa Demokrasi Terpimpin, Mokoginta sempat menjadi komandan SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) sebelum akhirnya ditunjuk jadi panglima Mandala I Sumatera atau Komando Antar-Daerah Sumatera. Tatkala G30S terjadi, muncul serangkaian klaim bahwa Mokoginta, berdasarkan perintah Soeharto, terlibat dalam pembersihan antek-antek komunis di seantero Sumatera.
“Baik Demokrasi Liberal dan Komunisme adalah produk politik, pemikiran dan norma-norma barat. Keduanya asing terhadap norma-norma dan mentalitas orang timur, terutama Indonesia…keduanya mesti dilenyapkan dari kehidupan politik kita,” cetus Mokoginta dalam Letdjen A. J. Mokoginta: Koleksi Pidato2.
Namun ketika Orde Baru berdiri, Mokoginta justru disingkirkan Soeharto. Presiden “men-dubes-kan” Mokoginta untuk Mesir, Lebanon, Sudan, dan Maroko dari Maret 1967-Desember 1970.
Mokoginta kemudian dikenal sebagai bagian dari “barisan sakit hati” bersama sejumlah purnawirawan lain akibat keterlibatannya dalam Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB), Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI AD, dan Petisi 50. Keresahan-keresahannya terhadap Soeharto acap jadi bahan diskusi di ketiga lembaga itu.
Mokoginta jadi penandatangan kedua Petisi 50. Petisi berisi sejumlah pernyataan keprihatinan itu, terutama mengenai tafsir sepihak Pancasila oleh penguasa dan label anti-Pancasila terhadap penentang tafsir itu, disampaikan ke DPR/MPR pada 5 Mei 1980.
Petisi itu juga mengecam gagasan ABRI mesti berpihak pada penguasa jelang Pemilu 1982. Kecaman itu berangkat dari adanya sebuah pertemuan rahasia antara Pangkopkamtib Laksamana Sudomo dengan Golkar, 17 Oktober 1979. Puncak dari pertemuan itu adalah pernyataan Sudomo bahwa ABRI “sepenuhnya” Golkar dan menjadi kunci keluarga besar Golkar.
“Saya punya dokumen otentik bahwa persekutuan ABRI dan Golkar tidak akan berubah. ABRI masih tetap berada dalam keluarga besar Golkar. Seperti apa nantinya Pemilu 1982, jika ABRI tidak berdiri di atas semua golongan masyarakat? Pemilu 1982 nanti tidak akan jauh berbeda dari Pemilu sebelumnya,” cetus Mokoginta, dikutip David Jenkins dalam Soeharto & Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983.
Pernyataan Mokoginta sontak menuai bantahan. Sukardi, politikus Golkar yang juga pensiunan tentara, sebagaimana diungkapkan Jenkins, menyanggah adanya komitmen tertulis antara ABRI dan Golkar. Baginya, ABRI, sebagaimana dinyatakan Menteri Pertahanan dan Keamanan (Hankam)/Panglima ABRI Jenderal Andi M. Jusuf, berdiri di atas semua golongan.
“Pernyataan Sukardi memang membantu Golkar dari permasalahan, tetapi itulah penafsiran paling bebas yang dirancang untuk menyesatkan dan menipu. Memang Sukardi sendiri tidak hadir dalam pertemuan 17 Oktober itu. Sulit dipercaya ia tidak mendengar atau membaca dokumen itu,” tulis Jenkins.
Sama dengan Sukardi, Sudomo menampik “serangan” Mokoginta itu. Menurutnya, pernyataan Mokoginta justru menjadi fitnah untuk memecah-belah Sudomo dan M. Jusuf.
Yang pasti, Soeharto menyerang-balik para peneken Petisi 50, termasuk Mokoginta. Selain di-persona-non-grataseperti rekan-rekannya macam Hoegeng Imam Santoso atau Jenderal AH Nasution, Mokoginta juga kena cekal. Jangankan bepergian ke luar negeri, sekadar menghadiri acara militer dan kenegaraan pun Mokoginta tak diizinkan.
Mokoginta memilih meladeninya. Bersama Sukendro, dia mendirikan Lembaga Sukarno-Hatta dan Silaturrahmi 45. Lembaga tersebut misinya melawan demi perubahan.
Namun, perlawanan Mokoginta semakin kendur. Sejak 1982, kesehatannya menurun akibat penyakit tulang belakang. Dua tahun berselang, tepatnya 11 Januari 1984, Mokoginta menghembuskan napas terakhir. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. (Dilansir dari HistoriA.id)