catatan: Tyo Mokoagow
ZONATOTABUAN.COM – Apakah tiga kata yang paling sulit diungkapkan? Banyak yang akan berkata, “Aku cinta kau.” Tapi tidak dengan Steven Levitt dan Stephen Dubner. Dalam Think Like a Freak, tiga kata sukar itu adalah “Aku tidak tahu.” Saya kemudian membayangkan keberanian seorang filsuf Yunani kuno. Ia mengaku bahwa satu-satunya yang ia tahu adalah ia tidak tahu apa-apa. Paradoks. Dan bijaksana.
Barangkali sikap itu telah mahal di sekeliling kita. Semua orang merasa bahwa mereka mengetahui kebenaran tertentu seraya mengubur dalam-dalam kemungkinan tentang mereka keliru. Di ruang publik digital, laku ini menjelma kian brutal. Kebenaran tampak seperti barang asongan, dijual dengan harga murah. Setiap orang punya bakat jadi tukang obat. Kebenaran jadi dingin, beku, dan cekam.
Tidak gampang untuk mengakui bahwa kita tidak tahu apa-apa. Sartre kecil menganggap dirinya anak paling tampan sebelum menjadi filsuf. Seorang peserta Indonesian Idol dengan suara pas-pasan percaya diri tampil di hadapan TV bersama sederet penyanyi bersuara emas. Penggemar teori konspirasi berkotbah lewat radio bahwa alien bakal menginvasi ladang gandum. Sekeluarga pendiam meledakkan diri mereka di tempat umum sembari berharap terbangun di depan gerbang malaikat Ridwan. Seseorang menulis sebuah esai pada sore hari dengan asumsi awal bahwa apa yang ia ketik adalah sesuatu yang sama sekali baru.
Pada 1999, David Dunning dan Justin Kruger dari Cornell University meneliti perampok bank yang melumuri mukanya dengan jus lemon untuk menyamar. Perampok pintar itu bernama McArthur Wheeler. Dalam logika Wheeler, karena jus lemon mengandung zat yang sama dengan yang terdapat dalam tinta bening, maka menggunakannya di wajah akan membuat dia tak terlihat CCTV. Dengan kejeniusan itu Wheeler akhirnya membantu polisi menangkap dirinya sendiri.
Fenomena psikologi yang dialami McArthur Wheeler disebut Dunning-Kruger Effect, yakni bias kognitif yang menjadikan Wheeler keliru menilai kemampuan dirinya sendiri. Wheeler merasa ide briliannya tak mungkin salah. Efek ini bisa beragam untuk banyak jenis orang; ada yang merasa lebih alim, lebih cantik, lebih pintar, lebih spesial, lebih harum, lebih gaul, lebih kaya, dan kelebihan-kelebihan yang dianggap tidak dimiliki manusia lain. Dunning-Kruger membuat orang menilai diri terlalu tinggi dari kenyataan; ekspektasi lebih muluk dari pengetahuan—sampai titik yang mana imajinasi sudah merajam-rajam realitas yang diam-diam mencibir akal sehat.
Dengan sisa-sisa ingatan yang bisa terkumpul, saya mengintip masa kanak-kanak yang jauh. Pernah saya memakai serbet persegi panjang dari meja lalu saya ikat di leher dan memakai kolor di luar celana tidur agar tampak sepersis Superman dari TV. Saya kerap dimarahi karena berdiri di atas meja seraya berkacak pinggang ala jagoan. Saat itu saya merasa sangat pahlawan. Tidak ada yang boleh mengatur-ngatur. Dunia adalah film dan saya pemeran utamanya.
Sampai kaki saya terjedot meja. Saya menangis seraung-raungnya. Pahlawan dalam diri saya melemah, menyerah dalam haribaan ibu. Mungkin meyakini bahwa imajinasi benar selalu lebih menyenangkan daripada mengakui kita keliru dalam banyak hal.
Kita sudah pasti sering ketemu orang yang bisa duduk berjam-jam hanya untuk mendebat argumen orang lain. Tidak penting apa yang dibicarakan selama dia menang agar dinilai paling benar. Dua orang bahkan bisa berdebat soal pedas itu enak atau tidak hanya untuk membuat salah satunya pasrah menerima selera makanan didikte lawan bicara. Maka saya tidak akan heran bila ada yang menganggap 1+1=3, dan yang meyakini 1+1=4 bisa saling membunuh demi menjauhi fakta bahwa mereka keliru. Orang-orang demikian—yang barangkali saya dan Anda tergolong di dalamnya—mungkin akan semakin terasing dari kebenaran.
Selain Dunning-Kruger Effect, kita kenal juga backfire effect. Seorang subjek otaknya dipindai MRI. Lalu peneliti memberikan argumen yang bertentangan dengan keyakinan subjek itu. Satu bagian otak yang aktif di kepala subjek adalah amigdala, bagian yang bertanggung jawab atas respons fight-or-flight (kelahi-atau-lari). Refleks ini ternyata tidak hanya berlaku ketika nenek moyang kita berhadapan dengan predator buas, tetapi juga ketika diserang oleh data atau informasi yang mengancam sistem keyakinan kita.
Orang kemudian akan tergelincir kepada bias-bias kognitif. Pertama adalah bias konfirmasi (confirmation biases); kita cenderung mengindahkan fakta yang mendukung keyakinan kita. Kedua adalah bias diskonfirmasi (disconfirmation biases); kita berprasangka buruk kepada fakta yang tidak mendukung keyakinan kita. Bahkan ketika suatu fakta ilmiah mematahkan dan menghancurkan sistem keyakinan sampai arang paling terakhir, kita bakal berkonfrontasi dengan fakta tersebut mati-matian—kita barangkali akan mempertahankan pandangan keliru itu lebih gigih daripada sebelumnya.
Baru-baru ini saya membagikan tautan di Facebook (FB) tentang khasiat air wudu terhadap kecantikan. Saya menulis bahwa inilah dasar ilmiah dari adagium “sehabis salat merasa ganteng”. Padahal isinya tidak lebih dari junk-science belaka. Sebenarnya saya hanya ingin satire. Tapi banyak orang yang justru membagikan posting-an itu dengan memuji-muji keagungan Tuhan (terakhir saya lihat tautan itu sudah dibagikan tiga puluh sembilan kali).
Tapi yang menarik adalah, teman-teman FB saya yang ateis dan sekuler mengomentari posting-an itu dengan sinis. Mereka kira saya benar-benar percaya buta bahwa wudu mempercantik muka. Saya lalu mengambil sedikit jarak dengan diri sendiri, melihat posting-an itu dari sudut pandang orang lain. Saya langsung memasang tembok prasangka terhadap posting-an semacam begitu, dan apapun yang berbicara tentang sains yang memberi pembenaran pada klaim agama.
Dengan satu dan lain cara, pikiran saya hendak melayap ke Paris pada 1742, saat pertama kali Le Fanatisme, ou Mahomet le Prophéte dipentaskan. Naskah yang dibikin Voltaire itu sesungguhnya merupakan satire, kritik kepada fanatisme institusi agama Katolik yang semena-mena menyerang Protestan di Prancis. Dengan nakal Voltaire mengirimkan sebuah eksemplar naskah itu kepada Paus Benoit XIV yang menerimanya dengan baik dan memberi sanjungan kepada Voltaire. Paus tidak tahu kalau Voltaire lagi mengejeknya saat itu juga.
Baik Paus Benoit XIV maupun teman-teman FB yang membagikan tautan tentang “khasiat wudu” terjebak dalam bias konfirmasi. Lucunya, kawan-kawan ateis dan sekuler saya tersekap dalam bias diskonfirmasi atas posting-an satire saya. Orang-orang memang gemar membenarkan prasangka ketimbang apa yang berada di balik teks. Kita senang senang menyimpulkan isi rumah berdasarkan arsitektural fasad.
Sok Tahu
Kenapa kita takut mengakui bahwa kita tidak tahu? Soal itu terlalu sulit dijawab. Tapi mari kita tanya apa saja yang kita tahu akan sesuatu, akan berjibun jawaban yang berbaris di belakang kata-kata. Kita memang makhluk yang sok tahu. Kita mungkin tahu sedikit soal apa yang terjadi di sekitar kita hari ini dan apa yang terjadi di masa silam. Itu karena kita pernah mengalaminya secara langsung atau sempat membaca lewat teks. Tapi bagaimana dengan masa depan? Sesuatu yang belum pernah kita lalui, yang belum pernah kita baca sejarahnya?
Mari mundur satu abad sebelum Voltaire jaya di panggung kesusasteraan Prancis. Di tanah Saint Remy de Provence, seorang bernama Michel de Nostradame alias Nostradamus lahir. Ia merintis karier awal sebagai penulis kumpulan resep makanan sampai akhirnya mahsyur lewat Le Propheties pada 1555. Buku itu memuat lebih dari seribu kuatrin (puisi empat seuntai) yang dipercaya merupakan nubuat masa depan. Sampai hari ini, banyak pengikut Nostradamus dan okultisme percaya bahwa kejadian-kejadian besar sejarah seperti pembunuhan Kennedy, 9/11, Revolusi Prancis, kemunculan Hitler, “jamur asap” Hiroshima dan Nagasaki, dan banyak lagi, telah lebih dahulu diramalkan Nostradamus.
Bila kita hanya fokus pada satu prediksi (yang sangat metaforis dan multitafsir), ramalan itu bisa terlihat nyata pada kejadian-kejadian yang bahkan tidak berkorelasi sama sekali. Tapi Nostradamus membuat lebih dari seribu prediksi yang semuanya tertulis samar tidak jelas. Kita juga bisa seperti Nostradamus. Tinggal membikin puluhan ribu prediksi tentang masa depan, paling banter, setidaknya terdapat satu prediksi yang bisa berhubungan dengan peristiwa nyata—dan hubungan itu mungkin dipaksakan lewat lapisan-lapisan tafsir.
Saya bisa saja membuat prediksi bahwa “manusia akan menangis pada senjakala bumi.” Kelak bila robot jahat muncul atau lapisan iklim menipis atau nuklir kembali menumbuhkan “jamus asap raksasa”, orang-orang akan melakukan cocoklogi lantas para penggemar okultisme bakal mengangkat saya sebagai Nostradamus baru. Ramalan selalu punya daya godaan tersendiri. Dan itu yang membuat saya terusik. Sekelebat John Kenneth Galbraith, pakar ekonomi Harvard, melintas di otak saya: “Terdapat dua jenis peramal: mereka yang tidak tahu, dan mereka yang tidak tahu kalau mereka tidak tahu.” Bagi saudara laki-laki saya, jenis kedua merupakan manusia tersial di muka bumi –tanpa menyangsikan kemungkinan bahwa saya, Anda, dan saudara laki-laki saya tergolong di dalamnya.
Philip Tetlock pernah mengumpulkan 300 pakar untuk menjawab sekitar 80.000 prediksi. Segera setelah segenap jawaban terkumpul, ia menyimpulkan bahwa para peramal itu tidak lebih baik dari seekor simpanse yang melempar anak panah ke papan dart. Seorang demokrat akan berkata bahwa ramalan mereka pasti tepat. Dan seorang republikan akan membidas bahwa prediksi mereka jauh lebih baik. Setiap puak selalu punya cadangan imajinasi yang ingin mereka percayai kebenarannya. Sayangnya kedua kelompok itulah yang termasuk kalah dalam kompetisi melempar panah ke papan dart.
Tidak heran nubuat Hitler tentang supremasi rasisme ternyata patah di pertengahan abad ke-20 kemarin. Juga nubuat Marx tentang punahnya negara dan bangkitnya Internasionale (dengan huruf I kapital) tak pernah terjadi (buruh justru lebih loyal kepada negara-bangsa). Prediksi yang bersifat ideologis mengandung banyak bias dan cacat tatap yang dapat retak dalam banyak kesempatan.
Seorang superforecaster (peramal ulung), kata Tetlock, bukanlah yang punya afinitas ideologis-politis, tapi mereka yang berpikiran jauh lebih moderat. Kunci dari memprediksi masa depan dengan lebih mendekati akurasi adalah keterbukaan pikiran dan keterbukaan pengalaman dan keterbukaan atas kekeliruan; keterbukaan adalah prasyarat menggusah bias dalam kognisi manusia.
Kenapa kita tidak bisa memprediksi suatu peristiwa yang tak terduga? Lewat bukunya yang terbit pada 1912 bertajuk The Problem of Philosophy, Bertrand Russel menjawab pertanyaan rumit itu dengan cara sesederhana mungkin: seekor ayam yang diberi makan terus-menerus akan berasumsi bahwa ia akan tetap diberi makan setiap hari. Ini dimulai dengan keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang baik. Tak ada satu pun gagasan muncul dalam kepala ayam bahwa pada akhirnya hanya tinggal menunggu waktu sebelum kepalanya disembelih.
Penulis Lebanon, Nassim Nicholas Taleb menyebut fenomena itu sebagai ketidakmampuan kita memprediksi masa depan dari algoritma masa lalu. Dahulu, dunia Barat selalu mengasumsikan semua angsa berwarna putih. Sampai pada abad ke-17, para naturalis menemukan angsa berwarna hitam. Taleb ingin membuktikan bahwa apa yang tidak bisa dibayangkan nalar kita bisa langsung kalah oleh fakta baru yang mencolok bola mata. Dan itu mengingatkan bahwa selalu kita mempertahankan sesuatu yang bakal runtuh cepat atau lambat.
Semuanya bergerak di sekitar garis besar yang sama. Entah Dunning-Kurger Effect, backfire effect, atau ilusi forecaster: makhluk manusia ini cenderung ingin tampil sok tahu dengan segala klaim kebenaran tertutup yang acapkali membinasakan makhluk lain.
Barangkali sebagian besar porsi waktu kehidupan diserap oleh ketidaktahuan kita atas segala sesuatu. Saya sendiri pun seringkali tidak tahu kalau saya tidak tahu apa-apa. Mungkin Anda pun begitu, atau rekan kerja Anda, atau handai taulan Anda, atau orangtua Anda. Saya tidak tahu. Kita hanya bisa menduga-duga tanpa tahu ke mana tepi dugaan itu bakal bermuara ke pangkal terakhir. Yang pasti, McWheeler, Sartre kecil, Paus Benoit XIV, Nostradamus, pun saudara laki-laki saya pernah mengalami itu dalam titimangsa tertentu.
Kegelapan Pengetahuan
Kita tidak nyaman mengakui hidup dalam kegelapan pengetahuan. Zaman telah membanjiri dengan data dan informasi, tapi sesuatu dalam ego manusia selalu merasa menguasai satu jenis “versi kebenaran” yang lebih unggul di atas segala-galanya. Saya tidak hanya malu mengakui bahwa saya tidak tahu banyak perihal apa yang tengah terjadi di dunia ini, saya juga merasa pengecut berkata “aku tidak tahu” di hadapan pertanyaan-pertanyaan yang haus jawaban itu. Segera setelah melakukan pengakuan dosa itu pada saat-saat paling hening, saya merasa lebih akrab dengan diri sendiri, setelah terasing dalam jangka waktu yang sangat lama—seperti ada tembok yang meleleh di antara rongga-rongga batin dan daging.
Lalu kegelapan itu menjadi lebih ringan dan sederhana. Ketidaktahuan menjelma bahan bakar bagi jiwa saya agar selalu kelaparan. Segala kemungkinan demi kemungkinan tampak tidak berbahaya lagi. Untuk sementara, “duri mahabenar” itu barangkali tercabut dari benak saya. Tapi manusia selalu terperosok di lubang yang sama; selalu akan tiba satu waktu di mana saya lupa bahwa saya tidak tahu apa-apa, dan giliran Anda untuk mengingatkan saya kembali.
Tyo Mokoagow aktif di Komunitas Literasik Totabuan, Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara