MEMANG tidak ada keharusan kritik terhadap sebuah karya, (entah karya fiksi, non fiksi, seni, sastra, dll) dibalas karya juga. Namun mengkritik sebuah karya dengan karya tetap menjadi pilihan yang lebih sepadan dan elegan. Meski bukan contoh yang sepadan.
Tahafut Al-Falasifah karya Al-Ghazali yang dikritik Ibnu Rusyd melalui karyanya Tahafut At-Tahafut, bisa menjadi inspirasi betapa karya dibalas karya lebih berdampak dan mengabadi.
Mengkritik sebuah karya dengan karya juga tidak selalu harus mengikuti alur cerita sebuah karya yang dikritik. Seperti sebuah karya yang menampilkan kebohongan tak berbasis data sembari berlindung dibalik jubah “seni” kemudian dibalas dangan kebohongan yang baru dengan dalih yang sama, tidak juga tepat. Misalnya, ketika karya tersebut menampilkan adegan “pemenggalan kepala” yg nyatanya tidak demikian secara historis kemudian dibalas dangan adegan “pemerkosaan” yang sama-sama ahistoris, apa bedahnya?
Marah itu manusiawi. Sudah sepantasnya masyarakat Bolmong Raya terhadap karya yang terkesan menginjak martabat leluhur. Makanya saya tidak berhak melarang utat-utat saya yang meluapkan amarahnya di medsos. Silahkan saja. Itu hak utat-utat komintan. Namun hargai juga hak mereka yang mengambil jalan yang berbeda.
Ketika jagad maya Sulawesi Utara dan Bolmong Raya ramai dengan sumpah serapah, saya justru mengambil jalan yang berbeda. Meski begitu, sebagai anak Bolmong tulen lahir dari ayah Tungkagi (Tuang Kagi) dan Ibu Makalunsenge (Makalunsenge merupakan anak Loloda Mokoagow selain Manoppo), saya jelas punya hak juga untuk ikut marah. Sama seperti marahnya masyarakat Bolmongraya lainnya. Hanya saja kualitas marah dan cara marah kita yang berbeda.
Energi marah saya, ketimbang hanya habis di sumpah serapah dan caci maki di medsos. Lebih baik saya salurkan dengan mengajak mereka yang sepemikiran untuk menyalurkannya melalui karya. Hemat saya ini cara menyalurkan amarah lewat saluran yang lebih positif dan mengabadi, dengan karya tentunya.
Menghabiskan energi koar-koar di medsos, tak banyak manfaatnya. Toh akhirnya bakal reda juga, bukankah itu sia-sia. Selama ini, ketika penghinaan dibalas penghinaan tak juga memberi dampak siginifikan dalam menambah pengetahuan/wawasan sejarah dan kebudayaan di Bolmong Raya.
Kalaupun mau jujur, bisa dihitung dengan jari masyarakat Bolmong Raya yang benar-benar memahami dan mampu menjelaskan ketokohan Loloda Mokoagow saat ini. Apa perannya di Sulawesi Utara, serta sejauhmana kekuasaannya. Biasanya ketidakmampuan menjelaskan ini menjadi faktor kuat pemicu kemarahan yang tidak normal.
Saya berusaha marah sewajarnya. Serta tidak mau terjebak dalam desain provokasi, apalagi di momentum politik saat ini, bakal rawan ditunggangi. Saya cukup dengan menolak saja, namanya juga karya fiksi.
Bagi saya, inilah momentum kita memanfaatkan energi kemarahan ini untuk mendorong lahirnya karya serupa yang mampu menampilkan sejarah sebenarnya baik melalui karya ilmiah (buku) dan kesenian juga. Marah seperti ini lebih elegan. Dampaknya di masa depan, siapapun yang membuat karya serupa tanpa data berbasis fakta tak akan terterima dengan sendirinya.
Kita cukup menampilkan fakta sejarah, tentang ketokohan Datu Loloda Mokoagow yang oleh arsip kolonial disebut sebagai Raja Manado. Disebut demikian karna wilayah kekuasaannya meliputi semenanjung utara sulawesi, mencakup wilayah minahasa saat ini. Mendirikan pemerintahan di wilayah Amurang, serta menduduki kawasan pesisir strategis Kema, Bitung saat ini. Kema ini sangat strategis sebagai stepping stone (batu loncatan) jaringan pelayaran rempah-rempah (spice route) di masa itu.
Kekuasaan Datu Loloda Mokoagow ini justru mampu kita buktikan dengan arsip kolonial, laporan-laporan para pelancong, dan data temuan para peneliti eropa dalam tesis dan disertasi mereka. Serta yang terpenting, adanya perjanjian antara Belanda-Minahasa yang isinya menyebutkan bahwa para walak-walak di wilayah minahasa saat itu tak lagi tunduk terhadap kerajaan Bolaang pada sekitar abad ke-17 menjadi bukti adanya penguasaan itu.
Sudah saatnya kita membela Raja Manado, Loloda Mokoagow dengan cara elegan. Caranya, jangan hanya sebatas nama Rumah Sakit dan Bandara. Kita tuliskan sejarahnya, jadikan ia sebagai pahlawan lokal setingkat Sultan Baabula di Ternate dan Sultan Hasanuddin sang Ayam Jantan dari Timur di Gowa.. Natua dega’
___
Inggai Kita Motabatu Molintak kon Bolaang Mongondow Raya
Penulis: Donald Qomaidiansyah Tungkagi (Direktur The Bolmongraya Institute)